Monday 9 June 2008

Apa Salahnya Menangis?

Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.

Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis). Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.

Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.

Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.

Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83). Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.

Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)

Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).

Jadi apa salahnya menangis?.

Herman Susilo
pr@ydsf.or.id

Apa Pantas Berharap Surga?

Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.

Astaghfirullaah ...

Bayu Gautama

Antara Mata dan Hati

Mata adalah penuntun, dan hati adalah pendorong dan penuntut. Mata memiliki kenikmatan pandangan dan hati memiliki kenikmatan pencapaian. Keduanya merupakan sekutu yang mesra dalam setiap tindakan dan amal perbuatan manusia, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Ketika seseorang memiliki niat untuk melakukan sesuatu yang muncul dari dalam hati, maka dia memerlukan mata sebagai penuntunnya. Untuk melihat, mengamati, dan kemudian otak ikut bekerja untuk mengambil keputusan.

Bila seseorang memiliki niat untuk melakukan amal yang baik, maka mata menuntunnya kearah yang baik pula. Dan bila seseorang berniat melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, maka mata akan menuntunnya kearah yang tidak baik pula.

Sebaliknya bisa pula terjadi, ketika mata melihat sesuatu yang menarik, lalu melahirkan niatan untuk memperoleh kenikmatan dari hal yang dilihatnya, maka hati akan mendorong mata untuk menjelajah lebih jauh lagi, agar dia memperoleh kepuasan dalam memandangnya. Sehingga Allah SWT memberikan kepada kita semua rambu-rambu yang sangat antisipatif, yaitu perintah untuk menundukkan pandangan: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An Nuur: 30-31)

Demikianlah hal yang terjadi, sehingga ketika manusia terpuruk dalam kesesatan, maka terjadilah dialog antara mata dan hati, seperti yang dituturkan oleh seorang ulama besar Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam bukunya "Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu".

Hati berkata kepada Mata

Kaulah yang telah menyeretku kepada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman itu, kau mencari kesembuhan dari kebun yang tidak sehat, kau salahi firman Allah, "Hendaklah mereka menahan pandangannya", kau salahi sabda Rasulullah Saw, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya, yang akan didapati kelezatannya di dalam hatinya". (H.R. Ahmad)

Sanggahan Mata terhadap Hati

Kau zhalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan penuntun yang menunjukkan jalan kepadamu. Engkau adalah raja yang ditaati. Sedangkan kami hanyalah rakyat dan pengikut. Untuk memenuhi kebutuhanmu, kau naikkan aku ke atas kuda yang binal, disertai ancaman dan peringatan. Jika kau suruh aku untuk menutup pintuku dan menjulurkan hijabku, dengan senang hati akan kuturuti perintah itu. Jika engkau memaksakan diri untuk menggembala di kebun yang dipagari dan engkau mengirimku untuk berburu di tempat yang dipasangi jebakan, tentu engkau akan menjadi tawanan yang sebelumnya engkau adalah seorang pemimpin, engkau menjadi buidak yang sebelumnya engkau adalah tuan. Yang demikian itu karena pemimpin manusia dan hakim yang paling adil, Rasulullah Saw, telah membuat keputusan bagiku atas dirimu, dengan bersabda: "Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula, dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati." (H.R. Bukhori Muslim dan lainnya).

Abu Hurairah Ra. Berkata, "Hati adalah raja dan seluruh anggota tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik, maka baik pula pasukannya. Jika raja buruk, buruk pula pasukannya". Jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya para pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah karena kebaikanmu. Jika engkau rusak, rusak pula para pengikutmu. Lalu engkau lemparkan kesalahanmu kepada mata yang tak berdaya. Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta kepada Allah, tidak menyukai dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, ‘asma dan sifat-sifat-Nya. Engkau beralih kepada yang lain dan berpaling dari-Nya. Engkau berganti mencintai selain-Nya.

Demikianlah, mata dan hati, sepasang sekutu yang sangat serasi. Bila mata digunakan dengan baik, dan hati dikendalikan dengan keimanan kepada Allah SWT, maka kerusakan dan kemungkaran dimuka bumi ini tak akan terjadi. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka kerusakan dan bala bencanalah yang senantiasa menyapa kita.

Robb, bimbinglah kami, agar kami mampu mengendalikan hati kami dengan keimanan kepada-Mu, mengutamakan cinta kepada-Mu, dan tidak pernah berpaling dari-Mu.

Allaahumma ‘aafinii fii badanii, Allaahumma ‘aafiniifii sam’ii, Allaahumma ‘aafinii fii bashorii. Aamiin.

Ya Allah, sehatkanlah badanku, sehatkanlah pendengaranku, sehatkanlah penglihatanku. (Ummu Shofi/ari_aji_astuti@yahoo.com).

Al Quran Bersampul Hijau

Malam itu pandanganku melayang cepat pada sederetan buku yang berjajar di rak ruang tamuku, tepatnya pada Tafsir Quran karya Muhammad Ali yang paling menyolok tebalnya. Secepat itu pula aku teringat kepada si empunya yang tadi pagi mengirimkan pesan dari Indonesia yang saya terima sebelum berangkat kerja. “Mas! Hancur sudah semua harapanku! Aku dicerai Mas Ahmad dari Saudi!” Begitu bunyi SMS terakhir yang saya terima dari Frida.

Setahun sudah ia berada di Indonesia, tanpa kegiatan yang berarti. Saya sempat terhentak membaca pesan tersebut karena sebulan sebelumnya Frida mengirimkan berita gembira, “Hari ini aku menikah. Doakan kami agar digolongkan oleh Allah SWT kedalam keluarga yang penuh barokah dan rahmah!” Alhamdulillah. Ucapku, setengah berbisik kepada diri sendiri. Akhirnya kamu memperoleh jodoh yang insyaAllah lebih baik bagimu dari pada mengarungi hidup yang selama ini tanpa tentu arah. “Selamat menempuh hidup baru”, balasan kiriman SMS saya.

Seperti yang seringkali saya bilang kepadanya, bahwa Allah SWT pasti akan memberikan yang terbaik. Tapi yang ini, ya...Allah..., kenapa harus menimpa dia untuk yang ketiga kalinya? Sesudah SMS itu, saya tidak lagi mendengar kabarnya. Saya membayangkan apakah dia sempat beristighfar pada bulan suci Ramadan ini. Istighfar akan menyucikan diri manusia dari segala dosa-dosa yang telah dilakukan dimasa lalu. Apalagi pada bulan mulia ini. MasyaAllah, dosa apa yang diperbuat olehnya sehingga derita demi derita terus menimpanya ya... Allah? Tiga kali kawin-cerai! Pernikahan yang ketiganya hanya berusia tidak lebih dari sebulan!

Saya mengenal Frida, seorang pembantu rumah tangga (PRT), lewat seorang PRT juga, yang kebetulan bekerja pada bos kantor kami. Dia menelepon saya hampir setiap saat menghadapi masalah, layaknya seorang konsultan psikologi! Sebagai seorang wanita asal desa, tujuan kerjanya di luar negeri begitu mulia. Ia ingin membalas budi baik orangtua angkatnya yang selama ini turut berjasa membesarkan dirinya. Menyenangkan hati mereka. Beberapa kali harus lompat kerja sebagai PRT dari negara satu ke lainnya, namun tujuannya belum teraih jua.

Pertama kali ke luar negeri, ke Saudi Arabia, hanya berlangsung beberapa bulan saja. Belum lengkap yang namanya tabungan untuk sangu pulang, dia harus dijebloskan ke penjara gara-gara ‘tuduhan’ kriminalitas. Dia pukul kepala majikan anaknya dengan botol yang mencoba berbuat ‘kurang ajar’ kepadanya. Frida dipulangkan dengan hampir tanpa fulus di kantong. Pengalaman buruk pertama di luar negeri tidak membuat Frida ‘kapok’! Dia balik ke Indonesia, kemudian mencoba terbang lagi.

Frida diambil sebagai anak angkat oleh keluarga Sadimin pada hari dia dilahirkan. Lain dengan kondisi orangtua kandungnya, keluarga Sadimin termasuk kurang mampu. Sadimin tidak memiliki pekerjaan tetap, rumahnya kecil terbuat dari anyaman bambu. Begitu menginjak usia dewasa, Frida berpikir bagaimana caranya memenuhi segala kebutuhan hidup ini. “Aku tidak mengerti kenapa aku diberikan kepada keluarga Pak Sadimin oleh kedua orangtuaku. Saya merasa bukan sebagai anak yang dikehendaki oleh Ibu kandungku. Itulah yang menyebabkan kenapa ikatan batinku dengan ibuku sendiri kurang erat”, katanya suatu hari seusai menerima sepucuk surat dari Ibu kandungnya di Indonesia, sementara dia kerja di UAE. Surat-surat Frida memang dialamatkan ke saya karena dia sering pindah-pindah alamatnya. Sejauh itu terjadi, dia tidak memiliki alamat yang tetap. Jadi apa salahnya jika saya dititipi surat-suratnya yang dari tanah air? “Dia membutuhkan sedikit bantuan!” demikian pikir saya..

Faktor lain yang membuatnya ingin bekerja di luar negeri, ia ingin merubah taraf kehidupan dirinya sendiri. Sebagian dari penghasilan bulananya rutin dikirim ke Indonesia. Sayangnya, bapak angkatnya kurang bijaksana memanfaatkan uang kirimannya. Bapak angkatnya masih suka bermain judi, suatu kebiasaan buruk yang begitu mengakar di masyarakat desanya. Bahkan barang-barang berharga hingga elektronik hasil pembelian Frida banyak yang digadaikannya. Hal itu membuat Frida prihatin sekaligus jengkel karena merasa tidak dihargai jerih payahnya. Kejadian itu terus berlangsung begitu lama. “Sudah miskin harta, miskin pula iman”, begitu Frida mengistilahkan kondisi bapak angkatnya. Sementara sikap dia terhadap ibu angkatnya, karena sedari kecil diasuhnya, kasih sayang Frida kepadanya begitu kuat. Jauh melebihi sikapnya terhadap ibu kandungnya.

Sebelum keberangkatannya ke UAE, Frida pernah berkeluarga dengan seorang anggota angkatan bersenjata. Pernikahannya yang pertama. Dijadikannya dia istri kedua, tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Parno, lelaki berpangkat sersan satu itu sering memperlakukan dia sewenang-wenang. “Saya memang begitu bodoh waktu itu. Sebagai orang desa yang baru pertama kali ke kota, terlampau polos untuk bisa dikelabui oleh laki-laki hidung belang yang suka mengumbar janji”. “Alhamdulillah aku bisa lepas dari kungkungannya”. Keberangkatan Frida ke luar negeri lagi sempat tertunda gara-gara kecantol Parno. Syukurlah akhirnya berangkat juga. Tetap sebagai profesi semula, PRT.

“Aku mbok ya dikirimi majalah-majalah, buku-buku Islam atau kaset nya Zainuddin MZ Mas kalau punya!” demikian pintanya lewat telepon kepada saya ditengah-tengah kesibukan saya kerja. Saya biasa mengumpulkan majalah-majalah Indonesia hasil pemberian teman-teman atau kadang membeli. Ada juga beberapa koleksi kaset dakwah. Frida yang tinggal di pelosok desa, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat kota, merasa terhibur dengan buku-buku dan kaset tersebut. Pernah pula saya kirimi kamus kecil dan bacaan berbahasa Inggris yang dia bisa pergunakan untuk menambah wawasan komunikasinya.

Dia mengeluh sering menangis jika teringat ibu angkatnya yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri. Ia menangisi sikap ayah angkatnya juga yang tidak berubah perilakunya. Frida kesulitan berkomunikasi langsung dengan mereka. Informasi tentang orangtua angkatnya diperoleh dari tetangga yang kebetulan memiliki sarana telepon. Terkadang dia juga menelepon ibu kandungnya, tetapi katanya dia tidak merasakan kuatnya hubungan layaknya ibu dan anak. Entahlah!

Tinggal di pelosok desa bukan hal yang mudah di negeri orang. Apalagi jumlah orang Indonesia di daerah dimana dia kerja bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja itulah faktor utama yang menyebabkannya tidak betah, meskipun majikannya baik sekali. Ditengah-tengah proses koreksi diri, timbul niatnya untuk merubah profesi yang lebih baik. Dia balik lagi ke Indonesia. Sebagaimana banyak yang dilakukan PRT-PRT kita, dia rubah namanya dengan harapan bisa cepat ganti paspor dan segera kembali ke luar negeri lagi. Begitulah Frida. Mondar-mandir ke luar negeri sudah tidak asing lagi baginya, sampai suatu saat ia mengenal lagi laki-laki yang prihatin terhadap nasibnya.

Sebut saja Mahmud, yang menurut Frida pandai dalam bidang agama. Mahmud berniat menikahinya. Mahmud banyak memberikan nasehat-nasehat agama kepadanya. Dari logat bicaranya terkadang nampak penyesalannya menolak ajakan Mahmud. “Kalau saja dulu aku mau dijadikan istri oleh Mahmud.......” Angan-angan tersebut kadang muncul dan bergulir begitu saja, dikemukakan kepada saya. Sayangnya, dorongan bekerja di luar lebih kuat ketimbang harus menikah lagi dengannya. Ditolaknya dengan halus tawaran tersebut. Frida pun terbang lagi.

Dia masih tetap menyimpani nomer kantor kami. Sempat terkejut juga ketika dia tiba-tiba menelepon dari daerah yang tidak jauh dari tempat kerja saya. Walaupun begitu, jangan harap ia bisa keluar rumah, kecuali bersama majikannya. Disinilah kemudian muncul niatnya untuk mencari kerja lain, bukannya sebagai PRT. Dia tidak sadar bahwa keluar dari rumah majikan tidak sama seperti pergi ke Blitar di Indonesia. Tetapi Frida saya akui ‘pemberani’. Entah bagaimana caranya, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah butik, tentu saja ilegal! Kemampuan berbahasa Inggrisnya saya tahu meningkat. Itu terlihat saat dia menceriterakan pengalamannya bertengkar dengan temen-teman sekerjanya. Konflik dalam kerja memang hal yang biasa. Penghasilannya pun lebih baik. Akan tetapi ada yang merisaukan, yakni statusnya, ‘pelarian’. Status ini berlangsung hingga masa visanya habis. Ia pun menyerahkan diri ke kantor imigrasi. Tanpa harus masuk penjara, asalkan dia sediakan tiket pulang, akan diijinkan untuk pulang oleh imigrasi. Untuk kesekian kalinya Frida pulang lagi ke Indonesia.

Kepulangannya waktu itu ternyata yang terakhir kali dia bisa bertemu ibu angkatnya. Ibunya yang kecil kurus itu katanya sudah sering sakit-sakitan. Frida membutuhkan beaya yang tidak sedikit untuk pengobatannya. Ditengah kesulitan yang dihadapi, ada seorang tetangga yang berniat ‘membantu’ meringankan kesulitan ekonomi keluarganya, dengan syarat mau dinikahinya sebagai istri kedua. “Bagaimana perasaan saya waktu itu Mas? Saya dihadapkan kepada persoalan yang teramat berat. Jika tidak mau, saya harus tega melihat ibu sakit –sakitan tanpa obat, juga ekonomi porak-poranda karena tabungan saya hasil dari kerja di luar negeri sudah mulai menipis. Tapi kalau saya mau menikah dengan Mas Gofur, saya tidak tega melihat istri pertamanya yang saya kenal baik!” Subhanallah! “Apa yang harus saya lakukan? Ditengah kekacauan pikiran ini, ternyata saya harus menyelamatkan derita ibu angkat saya. Dengan perasaan hampa, kami nikah sirih!”

Frida malang nasibnya! Bagaimana dia harus berbahagia ditengah penderitaan orang lain? Dia memang bisa membeli obat dan makanan dari duit yang diberi oleh Gofur setiap saat. Tetapi dia tidak bisa menyembunyikan konflik batinnya jika memikirkan istri Gofur yang pertama. Saya tidak menyangka jika kemudian Frida nekad berangkat lagi keluar negeri tanpa sepengetahuan suaminya, Gofur. Kembali dengan visa PRT.

“Mas Gofur.... Saya minta maaf atas segala kesalahan saya. Tidak saya pungkiri anda telah berbuat banyak demi keluarga kami. Tetapi saya tidak bisa menjalani kehidupan seperti ini........!” Demikian bunyi surat yang dia kirimkan pada Gofur ketika dia sudah berada di UAE. “Gofur sebenarnya orang baik Mas... tetapi saya? Ya ..Allah...harus bagaimana menghadapi masalah ini? Saya tidak mungkin menjalani pernikahan yang bertentangan dengan batin ini” Frida, yang sudah ganti nama, entah apa lagi saya lupa, menangis. Dia baca Al Qur’an dan terjemahannya hasil pemberian temannya, yang entah dari mana mendapatkannya, sebelum menelepon saya, mengemukakan problematika hidupnya untuk kesekian kali. Menyimak kisah yang begitu pilu itu, saya tidak bisa berbuat banyak, kecuali menjadi pendengar yang baik.

Beberapa bulan sesudah dia menikmati pekerjaan barunya sebagai sales lady. Ibu angkatnya meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Frida yang malang tidak mungkin pulang melihat pemakaman bunda angkatnya. Ia merasa tidak lagi punya harapan.ditengah isaknya, “Ibuku tidak pernah merasa menikmati kebahagiaan dalam hidupnya Mas! Alhamdulillah saya sempat memperbaiki rumah kami. Saya bersyukur orangtua angkatku sekarang tidak lagi harus ke sungai jika mandi. Tapi itupun tidak lama beliau nikmati. Mas tahu kan, bagaimana Bapak angkatku.....?”

Tidak lama sesudah kejadian tersebut Frida sudah harus balik lagi ke Indonesia karena visanya sudah habis masa berlakunya. Beberapa kali SMS yang saya terima menceriterakan upayanya untuk bekerja di luar lagi karena belitan ekonomi. Tanpa kerja di rumah, subhanallah, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah angkatnya, karena tanpa uang dan juga kerja. “Barangkali saya sudah terlalu banyak berlumur dosa Mas. Berbagai jalan yang saya tempuh tampaknya buntu. Seberapa kali saya berusaha, seberapa kali itu pula saya gagal...!” Bagaimana nasib perkawinannya dengan Gofur? Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.

Garis hidup yang ditempuh Frida begitu berliku. Entah apa yang dilakukan sekarang, selagi semua jalan sepertinya tertutup baginya? Di bulan suci Ramadan ini, saya hanya ikut berdoa semoga Allah SWT membukakan pintu tobatNya, menunjukkan jalan hidup yang lebih terang. Saya yakin Allah Yang Mahapengasih terhadap umatNya, tidak akan membiarkan orang-orang seperti Frida terus-menerus dilanda cobaan besar. Begitu lahir harus diasuh orang lain, tidak memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan, pekerjaan yang tidak tetap, hingga pernikahanpun gagal tiga kali... Astaghfirullah!

Di keheningan sepuluh kedua malam Ramadan yang penuh maghfirah ini, satu hal yang saya kenang. Dia tinggalkan sesaat sebelum berangkat ke airport, sebuah Al Qur’an bersampul hijau. “Tolong disimpan Al Quran ini!” Pintanya. Kitab Suci yang dilengkapi terjemahan dan tafsir tersebut memang tebal sekali, lebih dari seribu enam ratus halaman, dan terlalu berat jika harus dimasukkan di tas kecilnya. Setebal lembaran-lembaran hidupnya yang penuh derita. Kalau saja bisa menangis, saya yakin linangan air mata Kitabullah itu tidak akan terhenti hingga dibukakannya pintu taubat baginya, menyertai niat taubat Frida, mengakhiri derita panjangnya. Wallahu’alam!


Syaifoel Hardy
shardy@emirates.net.ae